Ritual Sebelum Tidur
Tidur adalah kepulangan yang sementara. Memulihkan jiwa yang letih. Dan itu telah menjadi rutinitas. Buah-buah pikiran tidak bertahan lama, maka sebelum jatuh dan terlanjur kemungkus, mereka harus dipetik ke dalam kata-kata. Walau banyak kelahirannya tertunda di kepala, setidaknya mereka bisa ada. Kadang-kadang diambil orang.
Apa yang orang-orang lakukan sebelum tidur? Berpikir? Menyesal tentang hari yang berlalu? Atau mengingat sesuatu yang telah ditinggalkan. Kalau saya, cemas tidak bisa terbangun kembali.
Membaca kumpulan puisi aku tidak pernah sanggup sampai habis. Beberapa halaman terpaksa dilumat semalaman. Berharap membaca mempercepat kantuk datang, tapi resah malah bergelora di kepala. Seperti desir ombak di usia muda. Berbisik di antara kebisingan. Ada yang harus disampaikan di balik kegaduhan. Barangkali aku tidak sengaja tertidur dan terbangun menjadi Sapardi. Atau mungkin Rendra? Aku hanya takut terbangun menjadi malaikat yang menulis segala tingkah laku dirimu.
Jika Tuhan nanti bertanya dosa apa yang paling ingin diampuni, maka aku akan menjawab, “Maafkan aku atas semua cangkir kopi yang aku tinggal tidur lebih dulu.”
Sebelum tidur aku suka membaca puisi. Membaca, membaca dan membaca sampai kata-kata itu berbalik membaca wajahku.
Atau bergulat dengan pikiranku perihal apa kabar ibu malam ini.
Terpejam membayangkan angin-angin yang memaksa masuk dari jendela kamarku. Aku suka berselimut dalam kedinginan.
Pikiran-pikiran yang tidak perlu, datang sebelum tidur. Hal-hal yang terlupakan, datang sebelum tidur. Maka waktu sebelum tidur adalah sebuah pesta, yang mengundang makhluk-makhluk terlupakan. Sampai aku sibuk mencari nama tukang pos yang terjatuh di pematang sawah. Kata kakek, ia jatuh karena banyak rindu yang ia bawa. Sedang dirinya terus menanti surat kekasih yang tak kunjung dibalas.
Apakah Chairil minum kopi? Atau, jika penyair meminum kopi sasetan, apakah puisi yang ia tulis lantas tak pantas dibaca?
Satu pertanyaan untuk anak muda hari ini, sejak kapan puisi berkekasih dengan secangkir kopi?
“Sejak puisi berkekasih dengan hati penyair yang dibuat patah secara sengaja, bahkan, sampai berulang kali?” jawab salah satu anak muda hari ini.
“Sejak tidak ada lagi kata untuk ditulis.” Jawab penyair dengan kopi sasetan.
Surabaya, 2018