Kepada Dinan, Kepada Surabaya
Pasar Turi sudah menunggu, jangan lagi kita turun di Wonokromo. Sedikitnya kita bisa naik ekonomi premium, bukan kursi tegak enam belas jam. Mau jadi ikan asin lagi?
Meski tukang jus di gang lebar tutup usia, kita masih bisa beli temulawak di warung bakso kesukaanmu. Lalu berkunjung ke ibu pecel samping gang kos. Cuma ingin lihat anaknya yang bohay. Jangan lagi kita beli penyetan penuh telor puyuh yang menyembunyikan seluruh leherku.
Jangan tidur di motel, kita ke IBIS depan kantor. Kita rasai kolam di rooftop yang ramai bikini itu, Nan. Lalu pesan pizza dekat tukang kelapa muda yang terlampau mahal kala itu sembari menunggu teman-teman lama pulang kerja.
Semalam aku bertemu teman-teman Surabaya dalam mimpi, sedang memindahkan tools ke mobil. Lengkap memakai seragam abu. Jadi kangen Surabaya. Pecel dan es teh, tahutek dan es buah, atau penyetan dan jus melon. Terkadang dua potong hisana dan fruit tea. Sate dan air putih. MCD dan cola. Gramedia dan cinema. Jemursari dan gang lebar. Jalan cepat yang panjang. Atau di bungursari, tersesat dari Malang. Jawa Timur tidak lebih panas dari menyimpan rindu.
Warung penyetan yang tersembunyi di jalan kecil samping jembatan menuju tol waru, adalah surga. Betapa sambal dan penyetan usus lebih menggoda dari naik gaji, apalagi naik haji. Tahutek jam dua belas malam membulatkan tubuhku. Apalagi tidur yang sesudah subuh.
Surabaya menyimpan sebagian perjalanan dua orang muda belia tanpa saudara. Anak-anak tangga memulai dewasa. Kadang terluka karena kesepian, kadang meratapi sebelah mata memandang ijazah smk. Pernah aku bayangkan menjadi tua di sana, meninggalkan Bandung, menyimpan masa kecil sebelum aku turun di Stasiun Pasar Turi.
Kelak kita kembali ke sana,