Photo by Pawel Janiak on Unsplash

Dilarang Tertawa

Bobby Dustiansyah
3 min readJun 26, 2023

--

Ketika tertawa menjadi undang-undang sebuah negara. Di jalan-jalan kota, muka merah padam berlalu-lalang. Membawa lelucon dalam sebuah tas perut yang akan dimuntahkan di kamar masing-masing. Pemerintah hanya memperbolehkan tertawa untuk hal yang telah di tetapkan. Ketika pemilu, hari kemerdekaan, hari raya keagamaan. Saya percaya setiap rahim seorang ibu melahirkan manusia cerdas. Tapi entah bergaul dimana, ada saja orang yang membuat peraturan itu. Saya merasa sedih sekali untuk negara ini.

Di sudut kota, dekat penjual koran yang juga berjualan kopi, ada dua mayat tergeletak begitu saja. Tidak ada yang bertanya karena luka tembak di muka berarti ia telah tertawa. Entah dibayar menggunakan apa, pemuka agama tidak ada yang bicara. Menurut mereka peraturan itu bagus, karena menurutnya tertawa membuat hati keras. Tapi ayolah? Sungguh tidak masuk akal.

Ini adalah tahun ke sepuluh peraturan tersebut berlaku. Banyak negara luar yang menentang tentang peraturan konyol ini. Bahkan sampai sekutu mengirim pesawat tempur mereka lalu menembakan bola-bola kecil berupa speaker yang mengeluarkan suara tawa yang lantang. Betapa rindu masyarakat akan suara tersebut. Pihak militer negara menembak jatuh pesawat tersebut. Sejak saat itu tidak ada negara yang berani ikut campur.

Dua dasawarsa telah berlalu. Demokrasi telah puluhan tahun diganti dengan sistem dimana kekuasaan tunggal. Pemilu seperti tidak berguna karena hasil telah tertebak. Mutlak sudah kekuasaan terus berlanjut. Dan suara tawa makin terlupa dari ingatan masyarakat.

Kejanggalan dari pemerintahan ini hanya satu. Kepala negara, Jason. Jarang sekali menampakkan dirinya. Semua peraturan berterbangan melalui surat ke tiap-tiap rumah. Pernah suatu ketika pawai presiden berpapasan dengan salah satu warga, kemudian warga itu bertanya kepada presiden. Sebelum nafas menjadi kata-kata, wajahnya telah habis diberondong peluru. Semua tahu, kita dalam keadaan lebih buruk dari masa-masa orde baru. Tapi tidak ada yang bisa berbuat apa-apa. Kekuatan pemerintahan begitu superior dengan militernya.

Acara-acara televisi hanya menayangkan berita, berita, dan berita. Hiburan hanya lagu-lagu wajib dan lagu daerah. Sungguh menyiksa hidup seperti itu.

Terdengar kabar beberapa mahasiswa mendirikan aksi gerilya dengan menciptakan ruang-ruang bawah tanah. Di dalamnya dipertontonkan rekaman komedi, dibacakan cerita-cerita lucu. Suara tawa sama sekali tidak terdengar ke luar. Kabar ini terus melaju sampai menginspirasi mahasiswa dan masyarakat di segala penjuru. Sampai aparat pun ada. Mereka juga rindu tertawa seperti kita.

Kabar tersebut sampai ke telinga presiden. Membuat seluruh jajarannya mengamuk di istana negara. Mereka akan membuat konfrensi pers terkait kabar itu. Akan ada peraturan baru. Lapang disiapkan, massa yang dekat dari tempat tersebut segera berkumpul. Dihadiri pihak oposisi yang memakai topeng-topeng dengan wajah yang sedang tertawa. Keamanan berjaga di setiap titik dengan mengenakkan pakaian tempur lengkap. Presiden ini seperti hendak melakukan agresi militer rasa-rasanya.

Sampai suatu hari di akhir tahun jabatan yang entah melalui amandemen ke berapa seorang kepala negara bisa membuat perintah semau-mau, presiden menggelar mimbar terbuka. Itu akan menjadi perdana Jason-sang presiden tampil di muka publik.

Jakarta kala itu lebih panas dari biasanya, tapi masyarakat tumpah ruah di depan istana negara. Tulisan-tulisan perjuangan menunjuk matahari setinggi-tingginya, mahasiswa, buruh, sampai teman-teman pers menggunakan topeng mimik wajah tertawa, sebagai protes menolak aturan yang menciderai akal sehat manusia.

Tiba pada waktunya, pintu istana negara terbuka, Jason sang presiden akhirnya muncul di mata rakyatnya secara langsung. Jas hitam, kemeja putih dan dasi merah khas kepala negara, menggunakan masker medis berwarna hijau.

“satu, dua, tes.” Ucapnya sambil mengatur getaran tenggorokan

Terdengar segelintir orang berdeham menahan tawa, segera polisi membabi buta menerobos kerumunan untuk mengamankan beberapa tersangka. Setelah keadaan kondusif kembali, presiden membuka maskernya. Semua mata tertuju pada Jason sang presiden.

WAJAHNYA MENYERINGAI!

Sontak semua orang tertawa.

“Merdeka! Merdeka!”

sahut-sahut masa sambil melepas topengnya dan tertawa terpingkal-pingkal.

Tapi ada yang aneh, pelan-pelan keheningan dan kengerian terjadi. Jason tak bisa menutup rahangnya.

--

--

No responses yet